Jejak Langkah Karya yang Terabaikan

By Sendaewardah - Juli 04, 2018

Sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 ada salah satu aliran yang termarginalkan dari dunia kesusatraan indonesia yaitu Sastra Melayu Tionghoa. Karya Sastra Melayu Tionghoa merupakan karya yang penulisnya merupakan seorang peranakan Tionghoa. Menurut Claudine Salmon, seorang sarjana Perancis yang meneliti sastra Melayu Tionghoa, selama kurun waktu hampir 100 tahun (1870-1966) kesusastraan Melayu Tionghoa melibatkan 806 penulis dan sudah menghasilkan 3.005 karya. Tidak heran, karena masyarakat Tionghoa lebih maju terutama dalam hal kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan. Mereka sudah bisa menulis dan membaca jauh lebih dulu dari bangsa Indonesia. Mereka telah banyak menulis karya baik dalam bahasa ibunya maupun karya-karya berupa terjemahan. Karya-karya berupa roman tersebut kabarnya sangat digemari. Bahkan sebuah syair iklan karya Ting Sam Sien yang menjadi cikal-bakal karya sastra Melayu-Tionghoa diciptakan untuk  melakukan promosi untuk memasarkan roman terjemahan dijual di tokonya.
Karya sastra yang muncul pada masa itu umumnya mengenai kehidupan nyata sehari-hari, misalnya: Kehidupan para nyai, Cerita kriminal yang diangkat dari kisah nyata di pengadilan, Cerita silat, Cerita hantu (gaib), dan Cerita percintaan yang tidak jarang dibumbui seks. Ada beberapa cerita yang sampai menjadi fenomenal seperti misalnya ada kisah Nyai Dasima (1896) karya G. Francis. Alasan mengapa bisa menjadi fenomenal yaitu salah satunya karena didasarkan pada peristiwa yang benar-benar terjadi di Betawi.
Mengapa terpinggirkan? Ternyata meskipun karya tersebut berkembang diindonesia, bahkan lahir diindonesia, tapi karya itu sering kali tidak diakui oleh masyarakat indoneisa sebagai bagian dari kesusatraan indonesia. Hal ini disebabkan oleh belum dianggapnya orang-orang tionghoa sebagai bagian dari masyarakat indonesia. Terlebih lagi, karya-karya tersebut menggunakan bahasa melayu rendah dimana bahasa tersebut dianggap sebagai bahasa yang bukan merupakan sumber bahasa indonesia. Karya-karya tersebut dianggap rendahan dan dipandang sebelah mata. Tidak dilarang, tidak pula dilirik. Hal ini juga berkaitan dengan alasan mengapa sastra indonesia modern itu dimulai ketika Balai Pustaka. Bahasa melayu tinggi memang baru digunakan dalam karya-karya sastra ketika periode tersebut.
Meskipun begitu, sebenarnya orang-orang tionghoa yang menetap di Indonesia telah mencoba untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan keadaan setempat. Bahkan karya-karya tersebut banyak menceritakan bagaimana kehidupan mereka di tengah-tengah penduduk setempat. Dan alasan mereka menggunakan bahasa melayu rendah adalah karena mereka berbaur dengan masyarakat setempat maka bahasa dalam karya tersebut bahasa tersebut Bahasa pemersatu yang memegang peranan penting dalam pembauran orang Tionghoa dengan penduduk setempat adalah bahasa Melayu Rendah. Penggunaan bahasa Melayu Rendah ini dalam masyarakat lebih luas dibandingkan penggunaan bahasa Melayu Tinggi yang terbatas untuk orang-orang berpangkat atau bangsawan. Akan tetapi pemerintah belanda yang memegang otoritas saat itu menganggap bahwa karya sastra melayu tionghoa tidak bisa digolongkan sebagai bacaan layak karena menurut mereka itu rendah, cabul, dan liar.
Alasan lain dari termarginalkannya karya-karya ini adalah isi. Banyak sastra Melayu Tionghoa mengangkat fenomena sosial yang terjadi pada masa itu dan dianggap berbahaya oleh kolonial belanda karena dapat mengancam eksitensi mereka. Salah satu fenomena sosial tersebut adalah, pernyaian. Kwee Tek Hoay, ialah seorang penulis peranakan Tionghoa masa itu misalnya menyoriti praktik pernyaian itu dan menulisnya dalam sebuah novel berjudul Boenga Roos dari Tjikembang (1924). Novel ini menceritakan seorang manajer perkebunan bernama Oh Aij Tjeng yang harus meninggalkan Nyai (pasangan tanpa hubungan pernikahan)  tercintanya, Marsiti, sehingga ia bisa menikah. Delapan belas tahun kemudian putri Aij Tjeng, Lily meninggal. Padahal sebentar lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya. Lalu saat larut dalam kesedihannya, calon anak-mertua Aij Tjeng, Bian Koen menemukan bahwa Aij Tjeng memiliki seorang putri dari Nyai nya itu , Roosminah, yang sangat mirip dengan Lily. Kisah selanjutnya dapat ditebak, Bian Koen dan Roosminah lalu menikah.
Mengapa novel ini kemudian tidak lolos seleksi Balai Pustaka pada masa itu? Yang pertama, karena bahasanya yang masih berupa Melayu Rendah. Lalu isinya juga yang seolah mengandung sindiran atau bahkan kecaman terhadap kolonial belanda tentang bagaimana mereka memperlakukan para Nyai nya kala itu.
Sumber : Salmon, Claudine. 2010. Sastra Indonesia Awal:Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia.
 Hoay, Kwee Tek. 1924. Boenga Roos dari Tjikembang. Panorama.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar